Namun, tak berapa lama kemudian, di masa pemerintahan Sultan Agung di perempat awal abad berikutnya, sebuah keraton baru di Kerta disiapkan, dan beberapa fungsinya dari Kotagede dipindahkan ke sana. Bahkan, pada tengah abad XVII, Amangkurat I yang saat itu bertahta telah berdiam di Kedaton Plered yang kemudian pun terpaksa ditinggalkan pascapemberontakan Trunojoyo. Namun, Kotagede tak lantas mati.
Kotagede dari masa ke masa tetap muncul dengan ciri perkotaannya, sementara Kerta dan Plered telah berubah menjadi kawasan pedesaan. Keberadaan makam agung kerajaan Mataram Islam yang ada di Kotagede tampaknya menjadi penyebab Kotagede tetap hidup. Bahkan, semakin berkembang ketika memasuki abad XIX M, sehingga dikenal sebagai kota para saudagar kaya. Sebagian besar dari mereka adalah saudagar perhiasan dan batik.
Memasuki abad XX M, pemikiran-pemikiran pembaharu, seperti Muhammadiyah, juga masuk ke tanah leluhur yang kental dengan tradisi lamanya. Beberapa perbedaan prinsip sosial dan keagamaan pun sedikit banyak menyebabkan dinamika perkehidupan masyarakat Kotagede. Kantung-kantung permukiman santri meluas, melampaui permukiman para abdi dalem yang jumlahnya tak seberapa. Semuanya itu berbaur dalam rapatnya labirin kota tua yang asri itu.
Bukannya tanpa gejolak, Kotagede dari sisi sosial budaya memang cukup menarik. Ketika gerak geliat partai komunis merajalela, Kotagede menjadi salah satu basis yang memiliki banyak massa. Namun begitu, usai gerakan tersebut meredup, nuansa ke-Islam-an Kotagede kembali menguat.
Dari sisi fisik dan non-fisik, Kotagede sendiri mulai cepat berubah baru pada dua dasawarsa terakhir dengan giatnya pembangunan dan interaksi warganya dengan dunia luar. Pewarisan budaya tradisi dan pengetahuan lokal semakin surut, ketika para pemudanya makin banyak yang menaruh perhatian ke ranah lain di luar Kotagede. Pun begitu rumah-rumah tradisional Jawa yang dikandungnya, bisa dengan mudah terangkut ke luar Kotagede, ketika pemiliknya butuh uang. Praktik ini semakin gencar terjadi pascagempabumi yang mengguncang pada tanggal 27 Mei 2006 lalu. Sementara, di sisi lain, cukup banyak pihak pula yang menginginkan potensi budaya Kotagede yang unik ini dikemas untuk kemudian "dijual" sebagai industri pariwisata. Namun, cara yang muncul berbeda-beda tampaknya. Ada yang ulet coba mempertahankan wujud adanya, ada pula yang berupaya menampilkannya dalam wajah yang lebih baru.
Dinamika dan dialog dari masa ke masa yang tak pernah berhenti itu terjadi di Kotagede ratusan tahun lamanya. Menarik memang mengikuti jejak-jejak upaya pelestarian yang mewujud di Kotagede. Tak hanya yang terjadi di masa kini, tetapi juga upaya-upaya pelestarian yang terjadi pada masa lalu. Lebih dalam, tak hanya pelestarian hal berwujud/fisik saja, tetapi juga hal non-fisik seperti pengetahuan dan berbagai keyakinan serta ideologi, yang berbeturan dalam ruang-ruang dialog masyarakat Jawa. Belajar dari itu semua, banyak hal yang bisa dipetik utamanya dalam menyikapi perbedaan dan keragaman, baik yang muncul dalam masa yang sama maupun yang muncul seolah akan saling menggantikan dari masa yang berbeda.
elajah pusaka di Kotagede hari Minggu (21/09) sore kemarin berhasil merekam sedikit jejak tersebut ke dalam sebuah peta hijau. Peta Hijau Kotagede yang memuat isu konservasi (pelestarian) ini akan menjadi pemicu diskusi-diskusi lebih lanjut yang akan diperkaya bersama siapa saja yang menaruh minat padanya. Pada sisi praktis, peta hijau konservasi ini bisa digunakan sebagai peta panduan jelajah pusaka; sebuah paket wisata pendidikan yang jelas sangat bernilai. Pada sisi yang lebih substansial, peta hijau ini akan membantu membangun pemahaman atas situasi terkini wajah luar dalam Kotagede, baik bagi teman-teman pegiat pelestarian pusaka warga Kotagede sendiri maupun bagi siapa saja yang peduli dengan pelestarian pusaka dan pengetahuan. Secara bertahap, berbagai paket jelajah yang selama ini giat dikelola oleh teman-teman di Yayasan Kanthil Kotagede akan dapat semakin memperluas cakupan wilayah dan gagasan tema yang bisa dipetahijaukan di kota tua yang penuh asa ini, Kotagede.